Senin, 22 Juli 2024

 

“Tirai Hujan” Sebuah Epilog

 

Oleh: DIRO ARITONANG

          Presiden HaikuKu Indonesia

 

Cahaya bulan

Mekar bunga flamboyan

Di taman hati

 

Arsyad Indradi adalah seniman, budayawan yang telah bergambung dengan grup haikuKu Indonesia sudah setahun lebih, bergelimang dalam proses kreatif, mengali, menggali dan menggali bersama Keluarga Besar haikuKu, dalam memahami haiku yang sebenarnya. HaikuKu tidak lagi bereksperimen, melakukan perubahan terhadap bentuk raga haiku tradisional Jepang,  Go-Shichi-Go, 5-7-5 suku kata, yang sudah diuraikan Arsyad Indradi dalam “Catatan Tentang Haiku”. haikuKu Indonesia tetap menjaga originalitas dan melakukan pemuliaan terhadap karya besar haiku yang sudah mendunia ini yang dilahirkan sejak masa Matsuo Basho (1644 - 1694) hingga kini. HaikuKu Indonesia tidak ingin mencederai, dengan merubah bentuk raga maupun struktur haiku, di samping 5-7-5, unsur Kigo Besar (referensi musim), Kigo Kecil (penanda waktu), kireji (pemotongan), juga -  karena haiku merupakan Simplice one couplet, hanya satu bait, tidak berbait-bait, di samping itu juga tidak berjudul, jumlah suku kata haiku hanya 17 suku kata, tidak lebih tidak kurang. Sebuah keanehan ketika haiku itu berjudul . Ini ditunjukkan oleh 1500 haiku “Tirai Hujan” Arsyad Indradi.

 

***

 

Mengucap syukur

Jantung masih berdenyut     

Pajar menyingsing

 

HaikuKu Indonesia ingin melahirkan “Indonesian Haiku”, seperti juga Amerika telah memiliki “American Haiku” dengan kekhasan nilai-nilai bahasa, social,  alam dan budaya. Demikian juag haikuKu Indonesia, bentuk raga tetap dalam pakem haiku tradisional, namun haikuKu Indonesia diisi dengan nilai-nilai kehidupan di Indonesia, tentang alam yang hanya mengenal dua musim, kemarau dan penghujan, juga nilai-nilai tradisi, budaya, serta kearifan local. Di samping itu, rasa bahasa pun adalah khas Indonesia, karena setiap bangsa memiliki rasa bahasa dan memiliki struktur (tata bahasa) yang berbeda-beda. Dan ini semua telah ditunjukkan dalam kumpulan haiku “Tirai Hujan” .

 

***

 

Kibar bendera

Sayu dalam gerimis

Setengah tiang

 

Gembira saya melihat gagasan Arsyad Indradi dengan terbitnya “Tirai Hujan”. Ini justru akan semakin mempopulerkan haiku di Indonesia sejak diperkenalkan pujangga Amir Hamzah sejak 1939 di Indonesia, hingga terbitlah buku “Setanggi Timur” (Dian Rakyat, Cetakan pertama 1959). Keunikan haiku yang membedakan dengan haiku adalah terletak pada minimalisnya kata, dengan 17 suku kata, memiliki kigo dan kireji. Keunikan itu yang membuat banyak penyair di luar Jepang yang tertarik pada haiku, tidak sedikit penyair dunia tertarik pada keunikan haiku  seperti Octavio Paz, Allen Ginsberg, Jack Kerouac, Jorge Luis Borges, Richard Wright, James W. Hackett, bahkan sampai Rabindranath Tagore dan Albert Einstein. Hal yang luar biasa, penyair yang menggali habis-habisan tentang haiku oleh penyair peraih hadiah Nobel Sastra 2011, dari Swedia yaitu Tomas Tranströmer.  Juga dilakukan  Sonia Sanchez penyair Afrika-Amerika yang paling sering dikaitkan dengan Gerakan Seni Hitam, dari  Wilsonia Benita Driver,  di samping menulis  puisi, cerpen, esai kritis, juga dia adalah penggila haiku. Di Indonesia, juga pernah ada beberapa penyair, diantaranya Wing Kardjo “Pohon Hayat: Sejemput Haiku” (Forum Sastra Bandung, Mei 2002), juga baca pemikiran dan spirit haiku pada puisi Goenawan Mohamd, Ajip Rosidi, sampai penyair Heru Emka (alm) lewat “Danau Angsa”. Tapi dari seluruh karya yang saya baca dan saya apresiasi banyak yang tak memenuhi ketentuan haiku tradisional, baik itu patron 5-7-5 suku kata, kigo maupun kireji. Tetap cenderung pada puisi alit, bukan haiku. Kini lewat “Tirai Hujan” Arsyad Indradi, telah menunjukkan haiku yang sebenarnya.

 

***

 

Di ujung senja

Berkaca pada laut

Membaca diri

 

Membaca 1500 haiku Arsyad Indradi dalam “Tirai Hujan”, kita dibawa dalam intensitas perenungan kontemplasi yang sarat akan nilai-nilai kehidupan, persoalan kemanusia, tingkah laku alam dan hewan, hingga spiritual religius. Peletakan kigo dalam haiku Arsyad Indradi tidak sekedar mengatakan musim dan waktu.  Kigo itu menjadi matarasa kita dalam suasana kita sadar bahwa kita hidup, pada saat apa? atau musim apa? atau pada wakti apa?  Perasaan dan pikiran kita merespon pada kehidupan kita. Matarasa dapat kita kendalikan (renungan) dalam keheningan, kesunyian dan kesendirian sebagai manusia. Filosofi ini yang hendak dikatakan dalam haiku. Jadi kigo itu adalah pernyataan eksistensial. Secara ontologism filsafat, ada sesuatu yang tersimpan dalam diri kita pada saat momentum itu berinteraksi dalam diri kita, pada saat musim, waktu-waktu tertentu, dan aktivitas tradisi budaya yang menjadi ungkapan spiritual.

Ini merupakan kepekaan, sekaligus ketajaman Arsyad Indradi menatap gerak kehidupan dalam haiku-haikunya.  Terasa kigo berevolusi dari budidaya hubungan dekat seperti dengan alam.  Musim selalu datang dan pergi, fenomena perubahan musim menimbulkan berbagai ekpresi perasaan, gembira, kesedihan, kesepian, keheningan, dan kekhawatiran bahwa perubahan itu membawa ke dalam ungkapan spiritual. Dalam kigo merangkum semua sentimen ini, kebahagiaan kita, rasa sakit , air mata kita, dan bahkan nilai-nilai dan estetika.  Ini adalah rahasia di balik kemampuan haiku untuk membuat pernyataan yang mendalam dengan hanya 17 suku kata.

 

***

 

Mencari makna

Jauh ke dasar malam

Tafsiran cinta

 

Menulis haiku berarti memberikan suara untuk "sesuatu" muncul di depan mata kita dan mengambil sepotong kehidupan bumi. Dengan demikian,  kita sendiri memanfaatkan sumber kosmik kehidupan dan menciptakan sinkronisitas dan persaudaraan dengan makhluk hidup lainnya. Ini juga merupakan proses penemuan diri, perjalanan ke kedalaman hati sendiri. Ini adalah melalui "sesuatu" yang kita temukan hal-hal tentang diri kita sendiri.

Kehadiran Arsyad Indradi dalam dunia haiku di Indonesia akan sangat menarik dan inspiratif. Akan menjadi sejarah  dalam khasanah sastra di Indonesia, semoga ini akan menjadi pencerahan bagi kita semua. Memang haiku itu berasal dari Jepang, tapi haiku sudah menjadi milik dunia, seperti juga sonata dari Italia, pengaruh asing sejak mulai tumbuhnya sastra di nusantara tidak terlepas dari pengaruh India, Arab, Parsi mau pun Negara-negara Barat. Kini haiku yang telah berada berumah di Indonesia yang ditebar oleh pujangga Amir Hamzah tahun 1939, baru kini terasa eksistensinya. Seperti dikatakan haijin Santoka Taneda, “Nyata haiku adalah jiwa atau roh dari puisi. Segala sesuatu yang tidak benar-benar hadir dalam hati seseorang itu bukan haiku. Bulan bersinar, bunga mekar, serangga menangis, air mengalir. Tidak ada dalam kehidupan kita sampai tidak menemukan bunga atau memikirkan bulan. Ini adalah inti dari haiku. Melampaui batasan masa kamu, lupakan tujuan atau makna, memisahkan diri dari sejarah keterbatasan- di sana kamu akan menemukan esensi dari seni sejati, agama, dan ilmu pengetahuan." (dari ― Santōka Taneda, Mountain Tasting: Haiku and Journals of Santoka Taneda)._***

 

Adipura, Bandung 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Arsyad Indradi   1500 Haiku Indonesia Tirai Hujan   Epilog : Diro Aritonang Ilustrasi Cover : Rooswandy Juniawan dan Joel Pangoe...