“Tirai Hujan” Sebuah Epilog
Oleh: DIRO ARITONANG
Presiden HaikuKu Indonesia
Cahaya bulan
Mekar bunga flamboyan
Di taman hati
Arsyad Indradi adalah seniman, budayawan yang telah
bergambung dengan grup haikuKu Indonesia sudah setahun lebih, bergelimang dalam
proses kreatif, mengali, menggali dan menggali bersama Keluarga Besar haikuKu,
dalam memahami haiku yang sebenarnya. HaikuKu tidak lagi bereksperimen,
melakukan perubahan terhadap bentuk raga haiku tradisional Jepang, Go-Shichi-Go, 5-7-5 suku kata, yang sudah
diuraikan Arsyad Indradi dalam “Catatan Tentang Haiku”. haikuKu Indonesia tetap
menjaga originalitas dan melakukan pemuliaan terhadap karya besar haiku yang
sudah mendunia ini yang dilahirkan sejak masa Matsuo Basho (1644 - 1694) hingga
kini. HaikuKu Indonesia tidak ingin mencederai, dengan merubah bentuk raga
maupun struktur haiku, di samping 5-7-5, unsur Kigo Besar (referensi musim),
Kigo Kecil (penanda waktu), kireji (pemotongan), juga - karena haiku merupakan Simplice one couplet,
hanya satu bait, tidak berbait-bait, di samping itu juga tidak berjudul, jumlah
suku kata haiku hanya 17 suku kata, tidak lebih tidak kurang. Sebuah keanehan
ketika haiku itu berjudul . Ini ditunjukkan oleh 1500 haiku “Tirai Hujan”
Arsyad Indradi.
***
Mengucap syukur
Jantung masih berdenyut
Pajar menyingsing
HaikuKu Indonesia ingin melahirkan “Indonesian Haiku”,
seperti juga Amerika telah memiliki “American Haiku” dengan kekhasan
nilai-nilai bahasa, social, alam dan
budaya. Demikian juag haikuKu Indonesia, bentuk raga tetap dalam pakem haiku
tradisional, namun haikuKu Indonesia diisi dengan nilai-nilai kehidupan di Indonesia,
tentang alam yang hanya mengenal dua musim, kemarau dan penghujan, juga
nilai-nilai tradisi, budaya, serta kearifan local. Di samping itu, rasa bahasa
pun adalah khas Indonesia, karena setiap bangsa memiliki rasa bahasa dan
memiliki struktur (tata bahasa) yang berbeda-beda. Dan ini semua telah
ditunjukkan dalam kumpulan haiku “Tirai Hujan” .
***
Kibar bendera
Sayu dalam gerimis
Setengah tiang
Gembira saya melihat gagasan Arsyad Indradi dengan
terbitnya “Tirai Hujan”. Ini justru akan semakin mempopulerkan haiku di
Indonesia sejak diperkenalkan pujangga Amir Hamzah sejak 1939 di Indonesia,
hingga terbitlah buku “Setanggi Timur” (Dian Rakyat, Cetakan pertama 1959).
Keunikan haiku yang membedakan dengan haiku adalah terletak pada minimalisnya
kata, dengan 17 suku kata, memiliki kigo dan kireji. Keunikan itu yang membuat
banyak penyair di luar Jepang yang tertarik pada haiku, tidak sedikit penyair
dunia tertarik pada keunikan haiku
seperti Octavio Paz, Allen Ginsberg, Jack Kerouac, Jorge Luis Borges,
Richard Wright, James W. Hackett, bahkan sampai Rabindranath Tagore dan Albert
Einstein. Hal yang luar biasa, penyair yang menggali habis-habisan tentang
haiku oleh penyair peraih hadiah Nobel Sastra 2011, dari Swedia yaitu Tomas
Tranströmer. Juga dilakukan Sonia Sanchez penyair Afrika-Amerika yang
paling sering dikaitkan dengan Gerakan Seni Hitam, dari Wilsonia Benita Driver, di samping menulis puisi, cerpen, esai kritis, juga dia adalah
penggila haiku. Di Indonesia, juga pernah ada beberapa penyair, diantaranya
Wing Kardjo “Pohon Hayat: Sejemput Haiku” (Forum Sastra Bandung, Mei 2002),
juga baca pemikiran dan spirit haiku pada puisi Goenawan Mohamd, Ajip Rosidi,
sampai penyair Heru Emka (alm) lewat “Danau Angsa”. Tapi dari seluruh karya
yang saya baca dan saya apresiasi banyak yang tak memenuhi ketentuan haiku
tradisional, baik itu patron 5-7-5 suku kata, kigo maupun kireji. Tetap
cenderung pada puisi alit, bukan haiku. Kini lewat “Tirai Hujan” Arsyad
Indradi, telah menunjukkan haiku yang sebenarnya.
***
Di ujung senja
Berkaca pada laut
Membaca diri
Membaca 1500 haiku Arsyad Indradi dalam “Tirai Hujan”,
kita dibawa dalam intensitas perenungan kontemplasi yang sarat akan nilai-nilai
kehidupan, persoalan kemanusia, tingkah laku alam dan hewan, hingga spiritual
religius. Peletakan kigo dalam haiku Arsyad Indradi tidak sekedar mengatakan
musim dan waktu. Kigo itu menjadi
matarasa kita dalam suasana kita sadar bahwa kita hidup, pada saat apa? atau
musim apa? atau pada wakti apa? Perasaan
dan pikiran kita merespon pada kehidupan kita. Matarasa dapat kita kendalikan
(renungan) dalam keheningan, kesunyian dan kesendirian sebagai manusia.
Filosofi ini yang hendak dikatakan dalam haiku. Jadi kigo itu adalah pernyataan
eksistensial. Secara ontologism filsafat, ada sesuatu yang tersimpan dalam diri
kita pada saat momentum itu berinteraksi dalam diri kita, pada saat musim,
waktu-waktu tertentu, dan aktivitas tradisi budaya yang menjadi ungkapan
spiritual.
Ini merupakan kepekaan, sekaligus ketajaman Arsyad
Indradi menatap gerak kehidupan dalam haiku-haikunya. Terasa kigo
berevolusi dari budidaya hubungan dekat seperti dengan alam. Musim selalu datang dan pergi, fenomena
perubahan musim menimbulkan berbagai ekpresi perasaan, gembira, kesedihan,
kesepian, keheningan, dan kekhawatiran bahwa perubahan itu membawa ke dalam
ungkapan spiritual. Dalam kigo merangkum semua sentimen ini, kebahagiaan kita,
rasa sakit , air mata kita, dan bahkan nilai-nilai dan estetika. Ini adalah rahasia di balik kemampuan haiku
untuk membuat pernyataan yang mendalam dengan hanya 17 suku kata.
***
Mencari makna
Jauh ke dasar malam
Tafsiran cinta
Menulis haiku berarti memberikan suara untuk
"sesuatu" muncul di depan mata kita dan mengambil sepotong kehidupan
bumi. Dengan demikian, kita sendiri
memanfaatkan sumber kosmik kehidupan dan menciptakan sinkronisitas dan
persaudaraan dengan makhluk hidup lainnya. Ini juga merupakan proses penemuan diri, perjalanan ke kedalaman hati
sendiri. Ini adalah melalui "sesuatu" yang kita temukan hal-hal
tentang diri kita sendiri.
Kehadiran Arsyad Indradi dalam dunia haiku di Indonesia
akan sangat menarik dan inspiratif. Akan menjadi sejarah dalam khasanah sastra di Indonesia, semoga
ini akan menjadi pencerahan bagi kita semua. Memang haiku itu berasal dari
Jepang, tapi haiku sudah menjadi milik dunia, seperti juga sonata dari Italia,
pengaruh asing sejak mulai tumbuhnya sastra di nusantara tidak terlepas dari
pengaruh India, Arab, Parsi mau pun Negara-negara Barat. Kini haiku yang telah
berada berumah di Indonesia yang ditebar oleh pujangga Amir Hamzah tahun 1939,
baru kini terasa eksistensinya. Seperti dikatakan haijin Santoka Taneda, “Nyata
haiku adalah jiwa atau roh dari puisi. Segala sesuatu yang tidak benar-benar
hadir dalam hati seseorang itu bukan haiku. Bulan bersinar, bunga mekar,
serangga menangis, air mengalir. Tidak ada dalam kehidupan kita sampai tidak
menemukan bunga atau memikirkan bulan. Ini adalah inti dari haiku. Melampaui
batasan masa kamu, lupakan tujuan atau makna, memisahkan diri dari sejarah
keterbatasan- di sana kamu akan menemukan esensi dari seni sejati, agama, dan
ilmu pengetahuan." (dari ― Santōka Taneda, Mountain Tasting:
Haiku and Journals of Santoka Taneda)._***
Adipura, Bandung 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar