Rabu, 24 Juli 2024






 





Arsyad Indradi 

1500

Haiku Indonesia

Tirai Hujan 

Epilog : Diro Aritonang

Ilustrasi Cover : Rooswandy Juniawan dan Joel Pangoe Rihingan.

Penerbit : Kelompok Studi Sastra Banjarbaru

2016

 

Pelimbaian kata 

Sejak awal tahun 2014 mengikuti menulis haiku. Dan pada akhir tahun 2014 itu semua haiku dikumpulkan ada 1000 haiku ingin di bukukan dengan judul “ Tirai Hujan “. Tetapi rencana ini diurungkan karena haikunya terasa mentah, bahkan ada beberapa haiku “kigo” agak terabaikan, sedangkan “kigo” wajib dalam haiku. Haiku yang sejumlah itu terus diedit dan pada pertengahan tahun 2015 telah rampung. Pada pertengah tahun 2016 ada 500 haiku yang telah ditulis dan ditambahkan pada 1000 haiku sehingga berjumlah 1500 haiku.

Dengan rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan kesehatan, semangat, dengan tidak merasa lelah menghimpun dan mengedit antologi haiku Indonesia 1500 haiku 

Tak lupa saya mengucapkan banyak terima kasih kepada sahabat batin saya Diro Aritonang, Kurniawan Junaedie, Irma Hutabarat, Beni Guntarman, Bambang Widiatmoko  dan sahabat – sahabat batin lainnya yang telah memberi dukungan dan semangat kepada saya. Semoga Allah yang akan membalaskannya. Amin 

Alhamdulillah.

Semoga buku haiku ini dapat bermanfaat baik untuk diri saya sendiri maupun orang lain. Amin. Amin.

 

Arsyad Indradi

Banjarbaru, 20 April 2016.

 

Sebagai catatan tentang Haiku :

 

Apa Itu Haiku ?

: Arsyad Indradi

 

Haiku atau hokku  adalah puisi pendek dari  Jepang yang muncul di akhir zaman Muromachi, namun berkembang ketika memasuki zaman kinsei (disebut juga sebagai zaman Pra Modern). Zaman ini dimulai pada tahun 1602 yakni, sejak shogun Tokugawa Ieyasu sebagai pemegang tampuk pemerintahan memindahkan pusat pemerintahan ke Edo.  Pelopori haiku adalah Matsuo Basho (1644-1694), Onitsura (1661–1738), Yosa Buson (1716–1783), Kobayashi Issa (1763–1827) dan lain – lain.

 

Puisi pendek yang bernama Haiku ini  terdiri tiga baris menggunakan pola  5-7-5, yaitu :  pada baris pertama 5 suku kata, baris kedua 7 suku kata dan baris ketiga  5 suku kata, semua baris itu berjumlah 17 suku kata. Haiku ini merupakan haiku klasik, karena ketat dengan ketentuan yang ada pada zaman itu. Haiku klasik ini tidak mengenal judul. Di dalam haiku harus mengandung  kigo yaitu penanda musim/waktu dan kireji adalah kalimat penyimpul atau pemotong ( kiru, kireji) di baris terakhir yang berfungsi mendefinisikan hubungan kedua ide yang terdapat pada dua baris di atasnya. Kireji merupakan penyempurna dari haiku tersebut.

 

Dalam perkembangannya, orang Jepang sendiri tidak merasa puas dengan haiku klasik, karena, bahasa dan isi yang terkandung dalam haiku tidak lagi sesuai dengan pesatnya perkembangan zaman. Banyak orang tidak lagi mengikuti haiku klasik. Mereka mengganggap bahwa haiku klasik yang punya aturan baku, terkesan kaku dan palsu. Mereka memilih dan mengikuti aliran Masaoka Shiki (1867-1902) yang merupakan seorang pembaharu yang merevolusionerkan haiku Jepang menjadi haiku modern.

Haiku mulai tersebar di seluruh dunia setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-2 yakni   pada awal abad ke 20. Dalam tahun 1905, sebuah antologi haiku dalam bahasa Perancis telah terbit. Setelah itu, haiku terus berkembang ke negera Eropa yang lain. Akhirnya ke Amerika Serikat, Brazil dan tempat-tempat lain, di negeri-negeri Amerika Latin.

 

Haiku tradisional di Jepang  ditulis dalam huruf Kanji, dalam satu baris tegak lurus memanjang. Dalam hitungan 17 mora yaitu semacam suku kata. Tentu, mora ini tidak harus  sama dengan suku kata dalam bahasa Inggris atau suku kata dalam bahasa Indonesia, karena struktur gramatika yang berbeda.

 

Bagaimna haiku di Indonesia ?

 

Sesungguhnya haiku serupa dengan puisi mini, puisi alit dan puisi pendek lainnya.

Hanya bedanya haiku mempunyai ketentuan terdiri dari tiga baris, berpola 5-7-5, berjumlah 17 suku kata. Ada mengandung kigo dan kireji.

 

Karena di Jepang ditulis dalam huruf kanji, dan struktur gramatikanya tentu di Indonesia sesuai dengan huruf dan gramatikal Indoneia.

 

Perkembangan Haiku di Jepang begitu pesat, demikian juga di negara-negara di dunia, tak luput di Indonesia. Haiku Indonesia tentu saja haiku yang berjiwa Indonesia dengan kata lain.

haiku Indonesia, memiliki rasa bahasa keindonesiaan dan beragam kebudayaan.

Haiku Indonesia  memotret suasana , situasi, peristiwa dan lain-lain, menuangkan berupa sensasi pikiran, kias,daya imaji, metafora, kekuatan diksi, dan  tidak harus membentuk kalimat di antara barisnya ***

 

/1/                                        

Bantal syahadat

Berselimut salawat                   

Malam ma’rifat

 

/2/

Lapar bertakbir

Haus zikir minuman

Padang sahara

          

/3/

Membelah ayat

Tasbih jari  berdarah                  

Malam tahajud

 

/4/

Mengejar cahya                       

Di kedalaman diri

Tafakur malam

 

/5/

Selembar daun

Zikir jatuh melayang             

Ke kaki senja

 

/6/

Memoksa raga

Sukma menyala cahya

Fitrah malammu

                           

/7/

Bekal ke ajal

Senja m’ renda syahadat

Di kain kafan                          

 

/8/

Di tengah malam

Aku datang padamu

Bermuhadarah

 

/9/

Di malam hening

Mudra meniti tasbih

Nikmat bermuhib

 

/10/

Di pintu malam

Ada salam mukaram

Dalam tasbihku

 

/11/

Malam berzikir

Tengah orang terlelap

Mimpi dunia

 

/12/

Datang padamu

Tiada malam tanpa

Melunas rindu

 

/13/

Malam yang hening

Mendulang cahya bulan

Seribu bulan

 

/14/

Kubakar tubuh

Api cinta menyala

Di altar Allah

 

/15/

Malam bersujud

Di pintu Alif Lam Mim

Asmaul Husna

 

/16/

Di tengah malam

Aku datang padamu

Menguntai zikir

 

/17/

Biar ku gila

Mengejar cahayamu           

Ke batas malam

 

/18/

Merenung bintang

Merenda langit malam

Seraut wajah

 

/19/

Panjatan doa

Tak letih tadah tangan

Di senyap malam

 

/20/

Di hari fitri

Membuka pintu hati

Ampun dan maaf

 

/21/

Dalam semadi

Arung laut selatan

Di malam kliwon

 

/22/

Untaian zikir

Semilir angin senja

Rerumpun bambu

 

/23/

Kuntum sakura

Lembut bergayut mesra

Kolam memutih

 

/24/

Harum sakura

Kusimpan dalam sukma

Saat di Yogo

 

/25/

Kita sepayung

Erat genggaman cinta

Menempuh hujan

 

/26/

Mengejar bulan

Sampai ke dasar malam

Kita tenggelam

 

/27/

Malam membara

Gelas anggur bersulang

Membangun cinta

 

/28/

Pagi membasah

Embun bunga setaman

Mekarnya cinta

 

/29/

Kerumun laron

Buram lampu jalanan

Riuh lelawa

 

/30/

Serupa tangis

Angin di daun pinus

Malam gerimis

 

/31/

Kerlip gemintang

Di kelopak sakura

Duduk berdua

 

/32/

Sepasang angsa

Terjun ke dalam kolam

Ombak sakura

 

/33/

Malam nan sepi

Bulan disaput awan

Hati pun kelam

 

/34/

Sore tak ombak

Pantai merindu buih

Teman bercinta

 

/35/

Di atas kolam

Capung mencanda bulan

Rinduku nian

 

/36/

Cahaya bulan

Mekar bunga flamboyan

Di taman hati

 

/37/

Malam gulita

Membentang tirai hujan

Kota terlelap

 

/38/

Ketuk pintumu

Di dalam hening malam

Sujud sajadah

 

/39/

Hujan menderas

Lampu jalanan redup

Malam menyepi

 

/40/

Duduk di taman

Mekar bunga sakura

Mandi rembulan

 

/41/

Banjir melanda

Berkayuh sampan karet

Mandul solusi

 

/42/

Semesta alam

Tak lunas bayar budi

Ibu dan bapak

 

/43/

Di hutan Nganjuk

Teringat Kalimantan

Hutannya punah

 

/44/

Tutur perahu

Jayanya Angling Dharma

Bojonegoro

 

/45/

Di Selorejo

Waduknya air susu

Secangkir pagi

 

/46/

Puncak yang teduh

Mendaki gunung tidar

Menyukur nikmat

 

/47/

Gong perdamaian

Istana Gebang purba

Sarat sejarah

 

/48/

Daun momiji

Meriasi wajahnya

Pelangi senja

 

/49/

Someiyoshino

Perahu di Shinsakai

Ingat Mizuki

 

/50/

Ingat hanami

Pertemuan pertama

Sakura putih

 

/51/

Thubouchi Shoyo

Bulan meneguk sake

Tari  odori

 

/52/

Sunyi menghimpit

Malam membangkit kenang

Tidur gelisah

 

/53/

Di luar hujan

Di kamar tak berdua

Cuma bayangan

 

/54/

Senja mengombak

Bergegas kayuh sampan

Memburu rindu

 

/55/

Mengangkat sauh

Kapal akan bertolak

Membawa cinta

 

/56/

Beranda pagi

Pyur ke segelas kopi   

Seraut wajah

 

/57/

Selimut malam

Kau beri aku mimpi

Digigit ular

 

/58/

Menyibak malam

Kapal laju bertolak

Mengarung cinta

 

/59/

Di ranjang malam

Ada seekor ular

Tubuhku kaku

 

/60/

Seusai hujan

Kodok ngorek di kolam

Mengucap syukur

 

/61/

Mengetuk subuh

Ayam jantan berkokok

Dirikan sholat

 

/62/

Kepak lelawa

Di kamar tak berdua

Meraut wajah

 

/63/

Nyiur melambai

Nelayan suka cita

Pulang melaut

 

/64/

Kamar yang sunyi

Rintih senar biola

Bulan di awan

 

/65/

Kidung petani

Senja merambah sawah

Kerbau ke kandang

 

/66/

Hujan menderas

Kaki terus melangkah

Berpayung cinta

 

/67/

Di depan pintu

Gadis duduk termangu

Menatap hujan

 

/68/

Hujan tak sudah

Resah diburu waktu

Mencari payung

 

/69/

Di bawah payung

Menembus tirai hujan

Menggenggam cinta

 

/70/

Capung menari

Bulan jatuh di kolam

Katak sanggama

 

/71/

Sampan mengapung

Danau mengombak rindu

Bulan renjana

 

/72/

Sampan di danau

Rembulan di atasnya

Maha rindumu

 

/73/

Rindu gemuruh

Bulan di puncak jiwa

Lovely Moonlit Night

 

/74/

Rembulan luruh

Jatuh ke senar gitar

Set Fire To The Rain

 

/75/

Katak melompat

Ke bawah ujung daun

Lengking tonggerek

 

/76/

Kembang ilalang

Putih bukit Meratus 

Dayu tonggerek

 

/77/

Rerumpun rumput

Menyambut senja  hari

Melantun zikir

 

/78/

Jalan bersimpang

Bergumul dengan bimbang

Membaca bintang

 

/79/

Di hari guru

Aku mencari guru

Di mana guru

 

/80/

Tangan membelai

Jemari kasih sayang

Malam bergitar

 

/81/

Bermandi embun

Putri malu tersipu

Disentuh capung

 

/82/

Menatap langit

Mencari wajah bulan

Awan gemawan

 

/83/

Di cermin retak

Wajah mengalir darah

Penjaja malam

 

/84/

Menyusur Jalan

Musafir dalam hujan

Rindu kasihmu

 

/85/

Cermin pun pecah

Kupunguti hatimu

Di lantai senja

 

/86/

Lembayung senja

Mengantar matahari

Tidur di ufuk

 

/87/

Duduk di pintu

Sewaktu magrib tiba

Jodoh menjauh

 

/88/

Angan melayang

Jatuh di angin kencang

Ke lembah petang

 

/89/

Gagak mengakak

Di atas atap rumah

Apa gerangan

 

/90/

Di tirai hujan

Kapal lepas dermaga

Hati tertinggal

 

/91/

Balian surup

Membakar dupa putih

Meratus  tandus

 

/92/

Sepasang kucing

Di kegelapan malam

Mengeong tajam

 

/93/

Lengking serine

Ambulance m’lintas senja

Menjemput maut

 

/94/

Cermin yang pecah

Wajah yang berserakan

Di ubin malam

 

/95/

Sekuntum mawar

Mekar di ranjang malam

Harum mewangi

 

/96/

Ladang petani

Gadis pirang menari

Di angin pagi

 

/97/

Hari pun senja

Bergegas ke jendela

Berkaca diri

 

/98/

Mentari  lengser

Langit berganti rupa

Jangkrik berzikir

 

/99/

Pantai tanah Lot

Ombak utsaha dharma

Klenengan senja

 

 

/100/

Masih menunggu

Sampai surya tenggelam

Dermaga sunyi

 


 

 

/101/

Awan bergumpal

Matahari menghilang

Di tirai hujan

 

/102/

Pantai Takisung

Senja mendesir buih

Dendang nelayan

 

/103/

Petang di Jambi

Seloka Batanghari

Ketek berkayuh

 

/104/

Ladang petani

Pirang rerambut jagung

Di surya pagi

 

/105/

Rindu Palembang

Ampera Sungai Musi

Cahya kemilau

 

/106/

Merintis senja

Arah kembali pulang

Kehakikatku

 

/107/

Mengucap syukur

Jantung masih berdenyut     

Pajar menyingsing

 

/108/

Tangisan kecil

Membasuh risau mimpi

Di embun pagi

 

/109/

Bunga mimpiku

Tak berkelopak lagi

Pagi termenung

 

/110/

Kelopak mawar

Menetes embun pagi

Membasuh mimpi

 

/111/

Gerimis pagi

Buram kaca jendela

Menyepi kamar

 

/112/

Di dedaunan

Kerumun kunang kunang

Kerlip menawan

 

/113/

Terjun ke empang

Sekawan Berang berang

Ikan pun panik

 

/114/

Serupa mati

Tringgiling buka sisik

Dirubung semut

 

/115/

Landak terbangun

Keluar dari sarang

Dikepung asap

 

/116/

Kibar bendera

Sayu dalam gerimis

Setengah tiang

 

/117/

Jembatan Siak

Kota Sri Indrapura

Lampu melayu

 

/118/

Di gubuk tua

Misteri Pulau Kembang

T’riakan kera

 

/119/

Kota Bengkulu

Danau simpan misteri

Dendam tak sudah

 

/120/

Jukung berkayuh

Rindu dendang rantawan

Pasang pindua

 

/121/

Surya memancar

Di sungai Martapura

Pasar Terapung

 

/122/

Nusakambangan

Tubuh di bilik malam

Mencuci jiwa

 

/123/

Hujan menderu

P’lacur dipeluk tuhan

Sajadah basah

 

/124/

Maka bertutur

Kiyai Jalak Lawu

Misteri moksa

 

/125/

Kasada bromo

Semburan api kawah

Darah kesuma

 

/126/

Lingga Acala

Sepotong mahameru

Alam pesona

 

/127/

Larung Sesaji

Di perut gunung Kelud

Lahir kenduri

 

/128/

Mengungkap mistis

Di puncak Indrapura

Makhluk kerinci

 

/129/

Bersuluh damar

Mencari jantung hati

Bulan seiris

 

/130/

Seorang gadis

Terkurung dalam sunyi

Menatap bulan

 

/131/

Di sinar bulan

Putri sedang menjahit

Gaun pengantin

 

/132/

Kenduri rindu

Sampan di atas danau

Bertabur bintang

 

/133/

Di bawah bulan

Sampan mengapung rindu

Danau kemilau

 

/134/

Seribu bunga

Rembulan di atasnya

Taman bercinta

 

/135/

Domba mukjizat

Mati hidup kembali

Versus dustakan

 

/136/

Kerudung malam

Desau pucuk cemara

Sesurat rindu

 

/137/

Lembayung senja

burung pulang ke sarang

Menguntai tasbih

 

/138/

Di tirai hujan

Becermin masa silam

Merintis jalan

 

/139/

Sekepal tanah

Kulempar matahari

Langit terbakar

 

/140/

Berkaki tunggal

Kusembur senjakala

Pus keasalmu

 

/141/

Mandau sang hiyang

Kutusuk  tanah malai

Terbang ke jagat

 

/142/

Padang  mandura

Ruh padang mandurasi

Bernyawa tunduk

 

/143/

Pur pur si nupur

Rupa cahaya bulan

Sir aku sir mu

 

/144/

Macapat cinta

Jembatan kehidupan

Keselamatan

 

/145/

Hanacaraka

Melenyap kefanaan

Kalbu manunggal

 

/146/

Datasawala

Mencuci mata hati

Fatamorgana

 

/147/   

Padhajayanya

Menyempurnakan kiblat

Kuncinya sholat

 

/148/

Magabathanga

Ketulusan syahadat

Jalan selamat

 

/149/

Tampah di pintu

Mengibas senjakala

Menyeru pulang

 

/150/

Seribu urat

Putus di Lam Jalallah

Rebah ke bumi

 

/151/

Hujan menderu

Gigil lampu jalanan

Hilang cahaya

 

/152/

Secangkir rindu

Tumpah di ubin malam

Meleleh duka

 

/153/

Burung bernyanyi

Melukis wajah jagat

Fajar memancar

 

/154/

Kumandang subuh

Jiwa pun pada bangkit

Mengemas raga

 

/155/

Mengejar cahya

Sampai ke lubuk kalbu

Seribu bulan

 

/156/

Tak ada damai

Hari hari sengketa

Resah semesta

 

/157/

Di ranjang waktu

Rindu jatuh melayang

Ke senyap malam

 

/158/

Sejauh pandang

Ada fatamorgana

Perangkap dusta

 

/159/

Merenda langit                  

Rindu seraut wajah

Berpagar bintang

 

/160/

Lenyap di bumi

Sengketa manusia

Damai di hati

 

/161/

Permata embun

Mekar bunga kekasih

Pagi mewangi

 

/162/

Meronce makna

Di tirai hujan malam

Lantera jiwa

 

/163/

Siapa ? Kau kah

Tapak jejak berdetak

Malam mencengkam

 

/164/

Gorden bergoyang

Cecak sembunyi diri

Malam bersiul

 

/165/

Lolongan anjing

Di kesunyian malam

Desa tenggelam

 

/166/

Membuka pintu

Mekar jiwa merindu

Pelangi pagi

 

/167/

Lenguhan kerbau

Mengetuk pintu pagi

Turun ke sawah

 

/168/

Layar dikembang

Laut petang menghadang

Surut berpantang

 

/169/

Mencuci jiwa

Melebur alam fana

Bulan ramadhan

 

/170/

Kerbau tak lelah

Pagi pergi ke sawah

Membajak berkah

 

/171/

Di punggung kerbau

Senja mengantar pulang

Anak gembala

 

/172/

Di tirai hujan

Menepis bayang kelam 

Kenangan silam

 

/173/

Selasa kliwon

Ratu Kidul bersedih

Cepuri sepi

 

/174/

Menapak jalan

Garis hatulistiwa

Ungkap misteri

 

/175/

Pagi kemilau

Doa tangan petani

Padi menguning

 

/176/

Seruling senja

Sawah menguning emas

Desa  nan makmur

 

/177/

Seorang anak

Menatap langit biru

Melukis ibu

 

/178/

Bulan di danau

Teratai mandi cahya

Katak berdendang

 

/179/

Seekor burung

Bermimpi dalam sangkar

Memetik bulan

 

/180/

Bunga teratai

Mekar di cahya bulan

Ciuman capung

 

 

/181/

Sepasang angsa

Kolam bercahya pagi

Bermain cinta

 

/182/

Kembang tigarun

Merona galuh Banjar

Bustan rembulan

 

/183/

Angin rembulan

Serampang dua belas

Gemulai padma

 

/184/

Kelopak Padma

Bersyair tentang cinta

Cahya rembulan

 

/185/

Mengejar tuhan

Sampai ke batas hening

Rindu bercinta

 

/186/

Tubuh menguning

Saat mandi di sungai 

Seribu wisa

 

/187/

Di ujung senja

Berkaca pada laut

Membaca diri

 

/188/

Camar di karang

Merafal ucap salam

Senja yang lengser

 

/189/

Siang berduka

Menatap matahari

Kian terbenam

 

/190/

Di kaki langit

Matahari terbaring

S’limut lembayung

 

/191/

Membersih pikir

Melurus jalan akal

Sholat tahajud

 

/192/

Lembaran kertas

Tubuh dalam lipatan

Bunga rembulan

 

/193/

Berapa helai

Bunga kertas kurangkai

Bulan terkulai

 

/194/

Membayang esok

Bunga kertas kan layu

Dalam jiwaku

 

/195/

Tak kan berani

Menafsir bunga kertas

Setiap mimpi

 

/196/

Bunga kertasku

Tak berkelopak lagi

Pagi termangu

 

/197/

Aku jambangan

Tempat bunga kertasku

Rintihan malam

 

/198/

Mencari makna

Jauh ke dasar malam

Tafsiran cinta

 

/199/

Dunia sempit

Menyimpan keburukan

Waktu ke waktu

  Arsyad Indradi   1500 Haiku Indonesia Tirai Hujan   Epilog : Diro Aritonang Ilustrasi Cover : Rooswandy Juniawan dan Joel Pangoe...